JCC sendiri fungsi utamanya menurut Sakya dkk:
- Mengendalikan dan memonitor jaringan 500 kV.
- Mengendalikan dan memonitor pembangkit listrik berskala besar
- Memonitor jaringan 150 kV dan 70 kV melalui komunikasi dengan RCC (Regional Control Center)
- Menjalankan fungsi EMS (Energy Management System).
Salah satu permasalahan di sistem Jawa Bali saat ini adalah frekuensi sistem yang naik turun dengan cepat. Penyebabnya sering disebut sebagai generation-load mismatch.
P3B menyebutkan, hal hal yang mempengaruhi beban adalah hari2 dalam seminggu, jam2 dalam sehari, cuaca, event khusus, dll. Mismatch dari perkiraan beban ada yang merupakan variasi lambat yang deterministik dan variasi cepat yang acak. Ketidakseimbangan ini menyebabkan deviasi frekuensi dari frekuensi nominal.
Cara mengendalikan frekuensi ini adalah dengan melakukan pengaturan/regulasi, salah satunya dengan LFC yang erat kaitannya dengan fasilitas AGC (automatic generation control). AGC memungkinkan JCC mengendalikan beban MW pembangkit listrik (Po) dan rentang bebannya (Pr).
Regulasi utama adalah dengan regulasi primer (Governor Free) yang mempunyai sifat :
Merespon dengan cepat terjadinya generation-load mismatch
Masih terdapat steady state error (deviasi frekuensi) sesuai karakteristik speed droop
Mengakibatkan perubahan aliran daya
Sedang regulasi sekunder (LFC: Load Frequency Control)
Mengembalikan frekuensi ke nilai nominalnya
Secara otomatis mengembalikan power interchange antar area
Pada regulasi primer,
k = (1/s) * (Pnom/fo)
dimana:
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Pnom : Daya nominal unit (MW)
fo : Frekuensi referensi (50 Hz)
S : Speed droop
ΔP = – k Δf
dimana:
ΔP : Governor Action
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Δf : Deviasi frekuensi (f – fo) (Hz)
Pada regulasi primer ini, speed droop pembangkit ditentukan minimal 5% menurut Aturan Jaringan tahun 2007 (Grid Code). Pembangkit2 hidro biasanya dapat memiliki speed droop hingga 2.5%, sedang pembangkit2 thermal dengan turbin gas sekitar 4%. Yang sulit memenuhi aturan ini adalah pembangkit2 PLTU batubara, kendalanya adalah mungkin umur boilernya yang sudah tua (tidak bisa menerima thermal stress yang ekstrim), bisa juga karena nilai kalor batubaranya yang tidak stabil, atau pertimbangan komersial, misal dalam perjanjian jual beli tenaga listrik atau PPA belum diatur). Pada musim hujan, ketika PLTA dapat beroperasi penuh, frekuensi sistem sangat terbantu kualitasnya oleh reaksi cepat governor turbin2 air.
Sedang pada regulasi sekunder,
Pg = Po + N Pr – k Δf
Dimana:
Pg : Daya keluaran unit pembangkit (MW)
Po : Set point (MW)
Pr : Rentang regulasi (MW)
N : Level isyarat (output PI controller ACE)
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Δf : Deviasi frekuensi (f – fo) (Hz)
Misal sebuah pembangkit listrik punya Po = 400 MW dan Pr = 15 MW, maka pembangkit ini secara otomatis dapat naik dan turun bebannya dari 385 MW sampai dengan 415 MW, mengikuti naik turunnya frekuensi sistem. Ketika frekuensi kurang dari 50 Hz, beban akan lebih dari 400 MW, sedang ketika f > 50 Hz, load akan < 400 MW, ditandai dengan nilai N yang bergerak di antara -1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar