Oerstedt menunjukkan fenomena, secara eksperimen, sebuah kawat yang dialiri arus listrik akan membangkitkan medan magnet. Medan magnet yang dihasilkan besarnya berbanding langsung dengan arus yang menciptakannya. Jadi jika arus listriknya konstan, medan magnet yang terbentuk juga konstan dengan waktu. Jika arus listriknya berubah dengan waktu maka medan magnet berubah dengan waktu seperti arus.
Faraday yang mempelajari riset ini, tertarik untuk mendapatkan hal yang sebaliknya. Bisakan dengan medan magnet didapatkan tegangan listrik ?. Setelah lama berusaha dengan menemui kegagalan demi kegagalan, akhirnya dengan bantuan medan magnet yang berubah dengan waktu, dia bisa mendapatkan tegangan induksi.
Tegangan induksi ini dihasilkan sebenarnya bukan langsung dari medan magnet yang berubah dengan waktu, tetapi dari fluks magnetis yang berubah dengan waktu (Fluks = medan magnet x luasan yg ditembus medan magnet).
v = – dΨ/dt , dengan Ψ = μ H . A
Jadi untuk mendapatkan fluks yang berubah dengan waktu, kita bisa mengubah medan magnetnya terhadap waktu, seperti yang terjadi pada trafo (please … trafo tak bekerja untuk DC !!) atau
mengubah luasan yang akan ditembus medan magnet, seperti pada aplikasi generator. Atau keduanya berubah.
Tegangan induksi akan bernilai kecil, karena medan magnet dan luasan tembusannya biasanya kecil. Untuk memperbesarnya, digunakan gulungan kawat sebanyak N, sehingga seperti memperbanyak tembusan tersebut.
v = -N dΨ/dt
Senin, 30 Mei 2011
Senin, 09 Mei 2011
Load Frequency Control
Minggu yang lalu penulis berkesempatan mengunjungi Java Control Center di P3B Gandul, Cinere, Jakarta. Disana penulis mendapat penjelasan mengenai frekuensi sistem. Seperti yang sudah kita ketahui, jika tegangan v banyak dipengaruhi (dikendalikan) oleh daya reaktif Q (MVAR), maka frekuensi f dipengaruhi oleh daya nyata P (MW).
JCC sendiri fungsi utamanya menurut Sakya dkk:
- Mengendalikan dan memonitor jaringan 500 kV.
- Mengendalikan dan memonitor pembangkit listrik berskala besar
- Memonitor jaringan 150 kV dan 70 kV melalui komunikasi dengan RCC (Regional Control Center)
- Menjalankan fungsi EMS (Energy Management System).
Salah satu permasalahan di sistem Jawa Bali saat ini adalah frekuensi sistem yang naik turun dengan cepat. Penyebabnya sering disebut sebagai generation-load mismatch.
P3B menyebutkan, hal hal yang mempengaruhi beban adalah hari2 dalam seminggu, jam2 dalam sehari, cuaca, event khusus, dll. Mismatch dari perkiraan beban ada yang merupakan variasi lambat yang deterministik dan variasi cepat yang acak. Ketidakseimbangan ini menyebabkan deviasi frekuensi dari frekuensi nominal.
Cara mengendalikan frekuensi ini adalah dengan melakukan pengaturan/regulasi, salah satunya dengan LFC yang erat kaitannya dengan fasilitas AGC (automatic generation control). AGC memungkinkan JCC mengendalikan beban MW pembangkit listrik (Po) dan rentang bebannya (Pr).
Regulasi utama adalah dengan regulasi primer (Governor Free) yang mempunyai sifat :
Merespon dengan cepat terjadinya generation-load mismatch
Masih terdapat steady state error (deviasi frekuensi) sesuai karakteristik speed droop
Mengakibatkan perubahan aliran daya
Sedang regulasi sekunder (LFC: Load Frequency Control)
Mengembalikan frekuensi ke nilai nominalnya
Secara otomatis mengembalikan power interchange antar area
Pada regulasi primer,
k = (1/s) * (Pnom/fo)
dimana:
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Pnom : Daya nominal unit (MW)
fo : Frekuensi referensi (50 Hz)
S : Speed droop
ΔP = – k Δf
dimana:
ΔP : Governor Action
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Δf : Deviasi frekuensi (f – fo) (Hz)
Pada regulasi primer ini, speed droop pembangkit ditentukan minimal 5% menurut Aturan Jaringan tahun 2007 (Grid Code). Pembangkit2 hidro biasanya dapat memiliki speed droop hingga 2.5%, sedang pembangkit2 thermal dengan turbin gas sekitar 4%. Yang sulit memenuhi aturan ini adalah pembangkit2 PLTU batubara, kendalanya adalah mungkin umur boilernya yang sudah tua (tidak bisa menerima thermal stress yang ekstrim), bisa juga karena nilai kalor batubaranya yang tidak stabil, atau pertimbangan komersial, misal dalam perjanjian jual beli tenaga listrik atau PPA belum diatur). Pada musim hujan, ketika PLTA dapat beroperasi penuh, frekuensi sistem sangat terbantu kualitasnya oleh reaksi cepat governor turbin2 air.
Sedang pada regulasi sekunder,
Pg = Po + N Pr – k Δf
Dimana:
Pg : Daya keluaran unit pembangkit (MW)
Po : Set point (MW)
Pr : Rentang regulasi (MW)
N : Level isyarat (output PI controller ACE)
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Δf : Deviasi frekuensi (f – fo) (Hz)
Misal sebuah pembangkit listrik punya Po = 400 MW dan Pr = 15 MW, maka pembangkit ini secara otomatis dapat naik dan turun bebannya dari 385 MW sampai dengan 415 MW, mengikuti naik turunnya frekuensi sistem. Ketika frekuensi kurang dari 50 Hz, beban akan lebih dari 400 MW, sedang ketika f > 50 Hz, load akan < 400 MW, ditandai dengan nilai N yang bergerak di antara -1 supply maka akan tetap ada Δf. Hal ini dapat diatasi jika sistem juga punya regulasi sekunder (LFC). Dalam waktu 1-2 menit frekuensi akan kembali ke nominal ketika pembangkit2 listrik yang mengaktifkan LFC-nya mulai berkontribusi menyumbang daya ke sistem. Lebih jauh tentang regulasi ini dapat dibaca di file di situs UCTE.
JCC sendiri fungsi utamanya menurut Sakya dkk:
- Mengendalikan dan memonitor jaringan 500 kV.
- Mengendalikan dan memonitor pembangkit listrik berskala besar
- Memonitor jaringan 150 kV dan 70 kV melalui komunikasi dengan RCC (Regional Control Center)
- Menjalankan fungsi EMS (Energy Management System).
Salah satu permasalahan di sistem Jawa Bali saat ini adalah frekuensi sistem yang naik turun dengan cepat. Penyebabnya sering disebut sebagai generation-load mismatch.
P3B menyebutkan, hal hal yang mempengaruhi beban adalah hari2 dalam seminggu, jam2 dalam sehari, cuaca, event khusus, dll. Mismatch dari perkiraan beban ada yang merupakan variasi lambat yang deterministik dan variasi cepat yang acak. Ketidakseimbangan ini menyebabkan deviasi frekuensi dari frekuensi nominal.
Cara mengendalikan frekuensi ini adalah dengan melakukan pengaturan/regulasi, salah satunya dengan LFC yang erat kaitannya dengan fasilitas AGC (automatic generation control). AGC memungkinkan JCC mengendalikan beban MW pembangkit listrik (Po) dan rentang bebannya (Pr).
Regulasi utama adalah dengan regulasi primer (Governor Free) yang mempunyai sifat :
Merespon dengan cepat terjadinya generation-load mismatch
Masih terdapat steady state error (deviasi frekuensi) sesuai karakteristik speed droop
Mengakibatkan perubahan aliran daya
Sedang regulasi sekunder (LFC: Load Frequency Control)
Mengembalikan frekuensi ke nilai nominalnya
Secara otomatis mengembalikan power interchange antar area
Pada regulasi primer,
k = (1/s) * (Pnom/fo)
dimana:
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Pnom : Daya nominal unit (MW)
fo : Frekuensi referensi (50 Hz)
S : Speed droop
ΔP = – k Δf
dimana:
ΔP : Governor Action
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Δf : Deviasi frekuensi (f – fo) (Hz)
Pada regulasi primer ini, speed droop pembangkit ditentukan minimal 5% menurut Aturan Jaringan tahun 2007 (Grid Code). Pembangkit2 hidro biasanya dapat memiliki speed droop hingga 2.5%, sedang pembangkit2 thermal dengan turbin gas sekitar 4%. Yang sulit memenuhi aturan ini adalah pembangkit2 PLTU batubara, kendalanya adalah mungkin umur boilernya yang sudah tua (tidak bisa menerima thermal stress yang ekstrim), bisa juga karena nilai kalor batubaranya yang tidak stabil, atau pertimbangan komersial, misal dalam perjanjian jual beli tenaga listrik atau PPA belum diatur). Pada musim hujan, ketika PLTA dapat beroperasi penuh, frekuensi sistem sangat terbantu kualitasnya oleh reaksi cepat governor turbin2 air.
Sedang pada regulasi sekunder,
Pg = Po + N Pr – k Δf
Dimana:
Pg : Daya keluaran unit pembangkit (MW)
Po : Set point (MW)
Pr : Rentang regulasi (MW)
N : Level isyarat (output PI controller ACE)
k : Faktor partisipasi (MW/Hz)
Δf : Deviasi frekuensi (f – fo) (Hz)
Misal sebuah pembangkit listrik punya Po = 400 MW dan Pr = 15 MW, maka pembangkit ini secara otomatis dapat naik dan turun bebannya dari 385 MW sampai dengan 415 MW, mengikuti naik turunnya frekuensi sistem. Ketika frekuensi kurang dari 50 Hz, beban akan lebih dari 400 MW, sedang ketika f > 50 Hz, load akan < 400 MW, ditandai dengan nilai N yang bergerak di antara -1
Penggunaan Flywheel Energy Storage System sebagai Strategi Kontrol untuk Beban yang Sangat Fluktuatif pada Jala-jala Terisolasi
udul tulisan saya ini mungkin mengingatkan teman2 sekalian dengan model judul2 sebangsa paper, skripsi, thesis dkk. Tidak perlu mengerutkan kening dulu, disini saya tulis ulang paper saya dalam bahasa “manusia“, bahasa yang lebih dimengerti oleh kita2 hehe..
Kenapa Ada Sistem Tenaga Listrik yang Terisolasi..
Di dunia ini, banyak daerah pedalaman atau sebuah pulau terpencil, yang tidak terhubung dengan grid/STL yang besar. Alasan utama kenapa tidak dikonek biasanya karena pertimbangan ekonomis. Bayangkan saja misalnya, berapa biaya yang dibutuhkan untuk menggelar kabel laut dari pulau Karimun Jawa, jika ingin kita hubungkan dengan Tanjung Jati/Jepara di pulau Jawa. Contoh lain adalah STL terisolasi di daerah pertambangan seperti di Freeport, Papua. Di daerah tambang seperti itu, bebannya cukup tinggi, namun dipasok dari pembangkit listrik lokal yang ada disitu, tidak dipasok dari grid.
Permasalahan di Isolated Grid..
STL di jala2 terisolasi biasanya menggunakan pembangkit listrik dengan biaya operasi mahal, seperti mesin diesel dan turbin gas. Untuk mengurangi operational cost, biasanya orang berpikir menggunakan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan (renewable energy sources/RES). Sayangnya RES ini bukan tanpa persoalan. Energi listrik dari sumber energi terbarukan menyimpan masalah2 yang sering tidak diketahui oleh orang awam.
Permasalahan pertama adalah ketidakstabilan energi listrik yang dihasilkan dari RES. Contoh yang paling jelas adalah turbin angin. Permasalahan kedua, baik pembangkit dari sumber konvensional maupun RES, kadang tidak mampu mengikuti fluktuasi beban yang sangat dinamis, jika hal ini terjadi di sistem yang terisolasi. Rule of thumb bagi RES adalah pembangkit RES konsentrasinya tidak boleh terlalu besar karena akan mengganggu kestabilan sistem. Australia bahkan cuma memproyeksikan pembangkit dengan RES maksimal di angka 20% saja. PSS (Power System Stabilizer) biasanya juga tidak ada di sistem kecil yang terisolasi.
Contoh Kasus: STL di sebuah Tambang Batubara
Pada ilustrasi di atas, sistem ini tidak membutuhkan Flywheel Energy Storage System (FESS) jika tidak ada beban berupa Dragline. Dragline adalah alat berat yang biasa dipakai di surface mining. Jika Dragline dioperasikan, maka frekuensi akan sangat goncang jika tidak distabilkan oleh FESS. Aplikasi flywheel ini sendiri sebenarnya juga sudah lama dikenal di generator2 hidro. Perbedaannya, FESS sekarang banyak dikombinasikan dengan peralatan elektronika daya seperti inverter, capacitor berikut controller2-nya.
Sistem ini dimodelkan dengan VisSim menjadi sbb:
Hasil Simulasinya..
Dari hasil simulasi ini terlihat bahwa FESS melepas energi ketika beban (Dragline) menyerap energi secara drastis. FESS menyerap energi ketika Dragline tidak terlalu berbeban. Mungkin ada pertanyaan, apa keunggulan FESS dalam kasus ini dibanding pengaturan frekuensi secara konvensional. FESS punya kelebihan dalam hal kecepatannya dalam menyerap dan melepas energi. Mekanisme penyimpanan energi sebenarnya ada beberapa metode (capacitor, batere, PLTA Pompa, dll) dengan kelebihan dan kekurangannya. FESS dalam hal ini diyakini akan mampu meningkatkan penetrasi pembangkit dengan RES sampai dengan 33%.
Berlatih Menggambar Rangkaian Urutan Nol (Zero Sequence) pada Metode Komponen Simetris untuk Sistem 3 Fasa Tidak Seimbang (Unbalanced)
Metode komponen simetris yang dikembangkan pertama kali oleh Charles Legeyt Fortesque tahun 1918 adalah teknik yang sangat “ampuh” untuk menganalisis sistem tiga fasa tidak seimbang, bahkan hingga sekarang ini. Fasor-fasor tidak seimbang sistem 3 fasa dapat direkonstruksi sebagai fasor-fasor sistem tiga fasa seimbang. Komponen-komponen simetris menurut teorema Fortesque ini adalah :
Physically, in a three phase winding a positive sequence set of currents produces a normal rotating field, a negative sequence set produces a field with the opposite rotation, and the zero sequence set produces a field that oscillates but does not rotate between phase conductors.
Salah satu langkah yang cukup kritis untuk menyelesaikan sistem 3 fasa tidak seimbang adalah pada saat kita mengkonversi rangkaian ini menjadi rangkaian urutan positif, negatif dan nol. Merubah ke rangkaian urutan positif dan negatif, tidaklah terlalu sulit. Yang biasanya harus dilakukan dengan hati-hati adalah merubah ke rangkaian urutan nol. Saran saya, setidaknya perlu latihan beberapa kali dengan berbagai jenis rangkaian untuk memastikan bahwa kita benar-benar paham cara mengkonversinya.
Ada 5 jenis hubungan yang mungkin (ambil contoh pada rangkaian tiga fasa sebuah trafo) untuk rangkaian urutan nol ini,
Yang pertama, satu sisi hubungannya Y, sisi yang lain hubungan delta, keduanya tidak terhubung ke reference (ground),
Yang kedua, satu sisi hubungannya Y terhubung ke reference melalui impedans netral Zn, sisi yang lain hubungannya delta,
Yang ketiga, kedua sisi hubungannya Y dan sama-sama terhubung ke reference melalui impedans netral Zn,
Yang keempat, satu sisi hubungannya Y terhubung ke reference melalui impedans netral Zn, sisi yang lain hubungannya Y tapi tidak terhubung ke reference,
Yang kelima, kedua sisi hubungannya delta.
Nah, sekarang kita akan berlatih menggambar ulang rangkaian urutan nol dengan modal pengetahuan diatas,
Misal ada sistem tiga fasa seperti ini,
Bagaimana rangkaian urutan nol-nya?
Perhatikan,
- Generator G1 punya hubungan Y yang terhubung ke reference,
- Trafo T1 punya hubungan Y di kedua sisinya, sama-sama terhubung ke reference, sisi sebelah kiri terhubung ke reference melalui tahanan reaktansi j 0.01 pu,
- Saluran transmisi L12 ada di antara trafo T1 dan T2,
- Trafo T2, sisi sebelah kiri punya hubungan Y yang terhubung reference melalui hambatan 0.02 pu, sedang sisi kanan hubungannya delta,
- Generator G2 punya hubungan Y yang terhubung ke reference.
Rangkaian urutan nolnya adalah…
Jika anda jeli, anda pasti akan bertanya, kenapa ada angka 3 kali Zn pada trafo T1 dan T2. Jika anda sudah tahu jawabnya, maka… “Selamat ” anda cukup baik mengikuti penjelasan dosen atau dapat memahami buku ASTL yang anda baca. Semoga bermanfaat.
Reliability (Keandalan) Sistem Tenaga Listrik – Bagian I
Salah satu topik di Power Engineering yang sangat menantang adalah studi keandalan (reliability). Lingkup studi ini cukup luas, seperti mempelajari kalkulasi keandalan pembangkitan, transmisi, sistem interkoneksi dan distribusi. Tidak ketinggalan, biasanya kita juga dikenalkan dengan konsep Simulasi Monte Carlo untuk sistem tenaga listrik (STL).
STL sangat lah kompleks karena :
- Besarnya secara fisik
- Tersebar luas secara geografis
- Adanya interkoneksi, baik nasional maupun internasional
- Keterbatasan yang dimiliki operator itu sendiri
- Energi listrik tidak dapat disimpan dengan efektif dan efisien dalam jumlah yang besar
- Perilaku sistem yang tidak terduga
Istilah “reliability” berhubungan dengan kemampuan sistem untuk menyalurkan listrik ke semua titik penggunanya dalam standar dan jumlah yang sesuai atau bisa diterima.
Ada dua hal utama yang biasa dikaji dalam reliability:
- Kecukupan (adequacy)
- Keamanan sistem (security)
Adequacy assesment mempelajari kecukupan fasilitas yang dibutuhkan sistem untuk memenuhi kebutuhan sistem. Biasanya assesment ini dilakukan pada fase desain.
Security assesment mempelajari kemampuan sistem untuk tanggap terhadap gangguan. Hal ini sering dihubungkan dengan respon dinamis sebuah sistem. Assesment ini sering dilakukan pada fase operasional.
Realibility at what cost ?
Analoginya bisa berupa pilihan sepeda motor apa yang akan kita beli (masalah pemeliharaan kita kesampingkan dulu). Mau beli motor Cina apa motor Jepang? Kalau keandalan bukan hal yang penting, kita bisa beli motor Cina. Yang penting bisa buat pergi ke pasar, kalau mogok yah itu memang resikonya. Tapi jika tiap pagi kita harus pergi ke kantor tepat waktu, maka beli motor Jepang, dengan berbagai reputasi keandalannya, sangat lah masuk akal.
Probabilitas outage dalam STL dapat dikurangi dengan menaikkan investasi pada fase perencanaan. Sebaliknya, investasi yang berlebihan akan menyebabkan inefisiensi dan tarif yang lebih mahal. Dalam STL berbasis pasar, biaya penyediaan listrik dan keandalan adalah hal yang diperjualbelikan dalam fase desain dan operasional.
Teknik Pengkajian Realibility
- Teknik Deterministik, Teknik ini teknik tradisional yang tidak melihat kemungkinan atau stokastik alami sebuah STL.
- Teknik Probabilistik, Teknik ini menggunakan pendekatan analitis dan simulasi. Teknik ini yang paling baik untuk mengakomodasi perilaku STL. Contoh toolnya seperti Power Factory, RAPS.
Indeks Keandalan Deterministik
- Kriteria % Marjin Cadangan (% Reserve Margin) :
- Kapasitas Terpasang ≥ Max. Demand + besaran % Reserve Margin
- Misal jika Sistem Jawa Bali Max Demand-nya 17000 MW dan besaran Reserve Margin-nya ditentukan 20% maka Kapasitas Terpasangnya minimal 17000 + 3400 = 20400 MW.
- Besaran %Reserve Margin ini dievaluasi dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan ENS (energy not served) dan LOLP (lost of load probability) yang dikehendaki (lihat dalam OC 2.2 Aturan Jaringan STL Jamali 2007)
- Jatuhnya Unit Terbesar / Kriteria Contingency :
- Total Kapasitas Pembangkit Beroperasi + Cadangan Putar ≥ Max. Demand + Unit Generator Terbesar (contingency size)
- Misal jika Max Demand 17000 MW, unit terbesar adalah PLTU 660 MW, maka total kapasitas pembangkit dan cadangannya harus lebih besar dari 17000 + 660 = 17660. Jika yang beroperasi adalah 15000 MW dan cadangan (lihat OC 2.1) hanya 1000 MW (total, 15000 +1000 = 16000), maka STL dapat dikatakan defisit karena 16000 < 17660. Hampir dapat dipastikan, ketika peak load terjadi maka akan ada pemadaman (load shedding) untuk menjaga kestabilan sistem.
- Kriteria Jaringan :
- N-1, atau N-2 dsb. Ambil contoh N-1, yang artinya apabila sembarang satu buah elemen STL (misal line transmisi, GCB, generator dll) gagal maka sistem tetap stabil.
- Energi yang Tidak Terlayani (Unserved Energy) < 0.002% Kebutuhan Energi Total (contoh di Australia)
Kenapa Pendekatan Probabilistik Digunakan ?
Sifat alami STL adalah stokastik / random / acak
- Tingkat force outage (FOR) sebuah unit pembangkit adalah fungsi dari jenis dan ukuran pembangkit.
- Tingkat gangguan di transmisi adalah fungsi dari panjang saluran, desain, lokasi dan lingkungan.
- Ketidakpastian realisasi beban dan peramalan beban.
- Perubahan sistem ketenagalistrikan
- Adanya deregulasi dan (mungkin terjadi di masa depan) privatisasi
- Adanya kekuatan pasar (belum terjadi di Indonesia)
- Permasalahan seperti minimnya data, keterbatasan perhitungan, dan teknik pengkajian sudah bukan menjadi masalah besar lagi dengan semakin canggihnya hardware dan software komputer.
Indeks Keandalan Probabilistik
- Probabilitas load outage
- Perkiraan Energi yang Tidak Tersalurkan (estimated energy not supplied / EENS)
- Jumlah insiden outage
- Jumlah jam gangguan/interupsi
- Penyimpangan melampaui batas set tegangan
- Penyimpangan melampaui batas set frekuensi, dll.
Cara Pengkajian Keandalan secara Probabilistik
- Teknik Analitis
- Berdasarkan prinsip penyebutan keadaan (state)
- Menyajikan kondisi aktual sistem dengan model matematis
- Sulit diterapkan pada STL yang besar
- Teknik Simulasi
- Simulasi Monte Carlo (untuk sistem stokastik)
- Mengevaluasi indeks sistem dengan mensimulasi proses aktual dan sifat elemen sistem yang random.
- Dapat menangani sistem yang besar
- Memerlukan waktu perhitungan yang lama dan kapasitas penyimpanan yang besar
Dimana Kita Bisa Memakai Indeks-Indeks Keandalan ?
- Pada saat proses perencanaan
- Kriteria atau kebutuhan disain sistem
- Identifikasi area atau titik-titik lemah yang memerlukan modifikasi atau penguatan
- Pada saat proses pengoperasian
- Untuk memonitor kinerja sistem
Untuk menganalisis STL dan mencari indeks2 keandalannya, biasanya kita membagi STL menjadi 3 sub-system sbb:
Langganan:
Postingan (Atom)